Makin sering kita mendengar keluhan penduduk tentang kemacetan yang kerap dan meluas di kota-kota besar besar seperti Makassar, Bandung, Medan, Surabaya, Manado, Palembang, Yogyakarta, Semarang, Bogor, dan lain-lain.
Saya tidak punya angka statistik untuk menegaskan keluhan di atas. (Angka tersebut mungkin sekali sudah tersedia di Kementerian Perhubungan atau pusat-pusat penelitian tertentu.) Tetapi nalar sederhana serta pengalaman Jakarta memberikan pelajaran yang cukup.
Pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah baru dengan sendirinya meningkatkan jumlah mobil dan motor pribadi di kota-kota itu. Ditambah lagi tiada sistem angkutan umum yang menarik, maka ketergantungan pada kendaraan pribadi pun makin besar.
Para birokrat dan teknokrat yang berpikir naif selalu mengatakan, pertambahan jumlah kendaraan pribadi jauh lebih cepat daripada pertambahan luas dan ruas jalan. Karena itu, Dinas Pekerjaan Umum harus membangun lebih banyak jalan. Dan lebih cepat.
Cara berpikir beginilah yang sesungguhnya menyuburkan macet. Perlombaan antara memperluas jalan dengan bertambahnya mobil hanya akan terus-menerus meningkatkan jumlah mobil. Mobil juga menuntut lahan parkir, pompa bensin, bengkel, dan lain-lain yang secara pasti menghabiskan lahan kota untuk benda-benda yang menjadi sumber panas dan polusi.
Di Jakarta, biaya kesehatan terkait polusi udara telah mencapai Rp38 triliun per tahun, menurut sebuah penelitian.
Dulu di Jalan Thamrin, Jakarta, ada dua jalur hijau di tengah. Kini tiada. Dulu ada dua pompa bensin di jembatan Semanggi. Kini terasa betul bedanya ketika mereka telah disingkirkan dan diganti taman. Kedua perubahan itu dapat mengasah kepekaan kita tentang ruang kota yang sehat dan yang tidak.
Mobilitas memang salah satu hal terpenting dalam kehidupan kota. Ini kebutuhan pokok penduduknya, menentukan efisiensi ekonomi dan sosialitasnya. Mobilitas horizontal di ruang fisik kota dapat dikatakan merupakan pendukung penting untuk mobilitas vertikal di dalam ruang sosial kota.
Dan sebenarnya seluruh dunia sudah tahu, setidaknya sejak akhir tahun 1960-an, bahwa jawaban untuk mobilitas adalah sistem angkutan umum. Bukan ketergantungan kepada kendaraan pribadi (yang pernah menghantui Eropa hingga tahun 1970-an, dan masih demikian di beberapa kota di AS seperti Los Angeles — tetapi kini di Los Angeles ada lebih banyak angkutan umum daripada di kota-kota besar di Indonesia).
Mobil pada awalnya meningkatkan kebebasan pribadi. Tetapi kita tahu sekarang bahwa kebebasan itu palsu, sebab bila semua kelas menengah Indonesia mengumbar itu, hasilnya justru ketidakbebasan. Penulis Ayu Utami, karena itu mengatakan, "Meskipun saya punya mobil, saya ingin BEBAS pergi ke mana-mana dengan angkutan umum yang baik."
Mengapa pemerintah pada semua tingkat selalu terlambat membangun sistem angkutan umum, dan lebih gesit membangun jalan tol?
Sederhana: membangun sistem angkutan umum memang lebih sukar, memerlukan kehendak politik dan keterampilan yang lebih tinggi, menyangkut lebih banyak soal manajemen dan pemikiran sistemis. Sementara itu, membuat jalan lebih mudah, juga mudah dikorupsi, menurut perkiraan saya.
Warga kota se-Indonesia perlu berhimpun untuk meningkatkan tuntutan akan sistem angkutan umum segera. Sebab, hal itu akan menentukan kenyamanan dan daya saing kota-kota kita. Dan pemerintah harus segera memenuhinya.
Bagaimana keadaan transportasi umum di kota Anda? Ceritakan kondisinya di kolom komentar, jangan lupa menyebutkan nama kotanya ya!
0 komentar:
Posting Komentar