Dua minggu yang lalu, ada dua gagasan Gubernur Jakarta Joko Widodo yang menarik perhatian. Yang pertama, mengenai keharusan semua bangunan di Jakarta memiliki ciri Betawi. Yang kedua, rencana pembangunan masjid raya di Kapuk.
Kedua gagasan tersebut menarik, justru karena luar biasa menyimpang dari keinginan mayoritas warga Jakarta agar Jokowi fokus pada penanganan dua masalah pokok: macet dan banjir.
Terlebih lagi, sampai saat ini belum ada keputusan yang tegas mengenai berbagai hal terkait kedua hal pokok itu. Belum ada kejelasan proyek MRT, enam ruas jalan tol, perluasan sistem busway, tanggul pengaman Teluk Jakarta, dan lain-lain.
Gagasan membuat masjid, baik raya maupun bukan, sudah lama menjadi hobi beberapa kepala daerah di kota-kota lain, misalnya Makassar dan Kendari. Siapa “berani” menolak keinginan seseorang membangun masjid? Pasti tidak ada yang berani mengatakan hal buruk terhadap upaya mengembangkan kehidupan beragama.
Pada beberapa kasus, pembangunan masjid itu dikaitkan dengan pengembangan kawasan baru, termasuk misalnya di atas lahan reklamasi. Ini, lepas dari motivasinya apa, menjadikan pengembangan kawasan baru itu biasanya menjadi lebih mulus. Mungkinkah Joko Widodo bermain dalam irama yang sama di atas?
Ada sudut pandang lain dalam melihat rencana pembangunan masjid raya ini. Pada masa kampanye, Jokowi mendapat “serangan” dari lawan politiknya, dianggap kurang Islami (dan serangan ini mentah ketika beliau pergi umrah). Sebagai politisi, tentu ada kepentingan untuk selalu memenuhi aspirasi — dan mendapat simpati — dari kaum muslim. Apalagi seorang politisi yang sebelumnya seolah-olah tidak didukung kaum muslim tertentu.
Saya tidak dapat mempersoalkan tujuan di atas. Tetapi saya merasa perlu mengingatkan, sebaiknya pembangunan sebuah mesjid raya tidak menjadi pembenaran atau diperalat oleh perusahaan pengembang. Dan, tentu saja, tidak mengalihkan beliau dan kita semua dari kedua masalah pokok Jakarta (macet dan banjir) yang sudah disebutkan di atas.
Bagaimana dengan gagasan tentang arsitektur Betawi? Ini juga dapat dihubungkan dengan keperluan politis Jokowi untuk menarik simpati kaum Betawi (yang ketika pemilihan kepala daerah yang lalu diperkirakan lebih condong ke pasangan Foke dan Nara).
Perlu diingatkan, Jakarta itu sebuah kota metropolitan yang besar, terlalu besar untuk dicitrakan "hanya" sebagai Betawi. Di dalam Jakarta tentu saja ada Betawi, dan bahkan mungkin Solo kecil di suatu atau beberapa tempat di dalam keseluruhan bentang-alamnya. Tetapi, di dalam metropolis Jakarta ini juga terdapat ribuan, bahkan jutaan hal-hal lainnya, termasuk arsitektur berbagai langgam, baik yang diwariskan dari runtutan masa lampau, masa kini, dan yang akan datang.
Bangunan batu dan beton pertama di Jakarta, yang karena berbahan demikian maka bertahan hingga sekarang, ada di Jakarta Kota. Gayanya mengadaptasi Eropa abad ke-17. Di lokasi yang sama, dan di belahan kota Jakarta lainnya, juga ada bangunan bergaya abad ke-18, 19, dan 20, yang juga diadaptasi dari apa yang berkembang di Eropa.
Jakarta juga mewarisi gaya-gaya menjelang atau awal modernitas seperti Amsterdam, Art Nouveau dan Art Deco. Juga ada gaya-gaya "indische" yang memadukan arsitektur vernakular berbagai kawasan nusantara dengan prinsip-prinsip arsitektur Eropa. Di masa kontemporer, berbagai bentuk dan langgam dengan bebas dan selayaknya memang demikian mendapat tempat di Jakarta, sebab ia sebuah ibu kota dan sebuah metropolis internasional.
Gagasan artistik mencampurkan berbagai langgam adalah hal biasa sebagai tantangan kreatif. Tetapi kalau hal itu dilembagakan menjadi keharusan, maka itu tidak dapat diterima, baik secara politik, budaya maupun ekonomi!
Metropolis itu soal ukuran dan keberagaman kehidupan yang justru merupakan dasar produktivitas dan kreativitasnya. Usaha menyeragamkannya, sekecil apa pun, akan merupakan kesalahan besar yang sebenarnya tidak diperlukan.
0 komentar:
Posting Komentar